Sabtu, 08 Maret 2014

Membunuh Bayangan (Cerpen)

Tutur kata yang lembut terkadang menutupi kemunafikan seseorang, tidak berbuat jahat terang-terangan melainkan menyergapmu secara diam-diam. Dia mulai merasuk ke dalam tiap urat nadimu dan membiarkanmu menikmati hangat rasukannya. Kau terbuai akan indahnya sebuah sentuhan, namun secara tak sadar sentuhan itulah yang akan membuatmu buta. Bukan matamu yang akan buta, tetapi hatimu yang tidak akan menyadari bahwa ada orang lain yang lebih peduli terhadapmu daripada dirinya.

Ketika kau telah menjadi onggokan sampah, dia bahkan tidak akan sudi tuk berpaling sejenak menatapmu iba. Dia akan berkata bahwa dia lah yang paling berkuasa di atas Tuhan Yang Maha Esa. Dan tiba saatnya untukmu mengurung diri, namun tak ada guna tuk menyesali yang terjadi karena dirimulah yang tak bisa menguasai nafsu berskala duniawi.
“Tuhan, tolonglah aku. Aku terlalu bodoh dalam hal ini.”
Kau berteriak meminta pertolongan, berharap Tuhan dapat menolongmu. Namun, bagiku kau terlalu bodoh untuk meminta, seperti katamu sendiri.
Setiap apa yang kau lakukan, kau tak pernah meminta seperti ini kepada Tuhan. Bahkan menurutku, kau terlalu gengsi untuk memintanya seolah-olah kau dapat mengatasi masalahmu sendiri.
“Please, tolong aku.” waktu itu kau mengiba-iba padaku, mengharap tetesan belas kasih jatuh dari hatiku. Tapi sayang, aku tidak sebodoh itu.
“Aku sudah menegurmu berkali-kali. Sekarang semua sudah terjadi dan kau menyalahkanku?” kau menyalahkanku lagi, bukan aku yang menjadi penyebabnya melainkan dirimu sendiri.
“Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Aku memang bersalah, tapi kau adalah sahabatku.” kau terus saja berusaha mengiba.
“Lalu? Apakah aku harus membantumu yang sudah tidak mendengarkan nasihat baikku?” kau terdiam, wajahmu menunjukkan keputusasaan mendalam.
“Aku ingin membantumu, Aira. Tapi, ini adalah masalahmu yang tak perlu kubantu.” Aku meraung dalam hati, aku merasa sedikit kasihan padamu, sahabatku.
“Aku hamil, Ta.” kali ini kau mengejutkan aku kembali, aku tak kuasa menahan tangisku yang seolah memecah bendungan.
“Apa? Tidak mungkin, Aira.” aku memelukmu, berusaha menenangkanmu meskipun aku sendiri tidak merasakan ketenangan.
“Inilah yang aku takutkan. Lelaki itu sudah merenggutmu.” aku memendam rasa perih yang tak bisa kuungkapkan.
“Tolong aku, Lalita.” kau menangis di pundakku, seolah dirimu tak punya harapan yang pasti.
“Kita harus menemukannya!” aku melangkahkan kaki dan mengambil sebilah pisau dapur yang tajam dan lancip.
“Apa yang kaulakukan?” kau menangis dan memohon padaku.
“Aku bilang kita harus menemukannya!” hatiku mantap tuk menodongkan pisau dan menusukkannya, hingga darahnya dapat kugenggam dengan tanganku sendiri.
“Tidak, Lalita!” kau mencoba menahan langkah kakiku, namun aku mendorongmu hingga jatuh terjerembab.
Kini, kau memandangku ketakutan seolah kau tidak mengenaliku sama sekali. Memang ini yang kuharapkan ketika hal-hal seperti ini terjadi. Kau hanya perlu diam dan aku yang akan mengurusnya. Diriku yang sekarang adalah diriku yang sesungguhnya, yang tidak akan diam bila ada yang mengganggu orang-orang yang kusayangi.
Aku berlari memecah keheningan malam dan berusaha menerobos kegelapan. Aku meninggalkan dirimu sesaat untuk membalaskan dendammu yang belum usai. Kau tidak beribu dan tidak juga berayah, lalu bagaimanakah kau akan menjalani kehidupan jika dirimu sudah direnggut orang? Itulah yang membuatku menyayangimu seperti adikku sendiri. Aku menjaga dan menasihatimu, namun kau bilang semua itu hanya buang-buang waktu. Kau terlalu mementingkan kesenangan di atas semuanya, bahkan di atas harga dirimu sendiri.
Aku terus berlari dengan pisau yang ku genggam. Aku memikirkan betapa sulitnya menjadi dirimu. Kau telah terlena dengan semua bujuk rayu setan. Lantas apa gunanya kau berjilbab jika kelakuanmu seperti binatang? Apakah kau mengira semua kesenangan adalah awal dari kebahagiaan? Jika itu yang kau kira, maka perkiraanmu sangat salah. Karena semuanya adalah awal dari kesengsaraan, penderitaan dan kenistaan semata.
Tanpa kusadari, aku telah diikuti. Lelaki itu mengikutiku. Aku tak tahu dia datang dari mana. Dan aku berusaha tidak menampakkan wajah ketakutanku. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Terus dan lurus, aku berjalan melewati anak sungai, lorong-lorong yang gelap, hingga akhirnya di tempat yang sunyi. Hanya ada aku dan dia.
Dia memagutku dari belakang dan mencengkeram pundakku. Aku berontak dan berubah menjadi beringas. Dia bertambah liar dan kuat, aku tak bisa menahannya. Dan aku tersadar bahwa aku memegang pisau yang sudah kubawa sejak tadi.
Tanpa aba-aba, aku menusuknya dan dia jatuh telentang. Aku masih saja menusuknya untuk membalaskan dendammu, Aira sahabatku. Aku merasa damai melihat percikan darahnya yang mengenai wajahku. Aku merasa bahagia melihatnya merintih kesakitan di depanku.
Tiba-tiba, kau datang memecah jeritan indahnya.
“Lalita, apa yang kaulakukan? Apa kau sudah gila?” kau menyumpahku malam itu dan berteriak hingga suaramu tercekat.
Aku tersadar…
Aku memandang tanganku sendiri dan memandang pisau yang kugenggam …
Apa yang telah kulakukan dengan bayanganku sendiri?


Cerpen Karangan: Qammara Frilia Musaratin
Facebook: http://facebook.com/RaraaQamaraa

0 komentar:

Posting Komentar